Breaking

Rabu, 04 April 2018

Kolektor Senapan Angin Menyukai Barang Lokal

PARA tamu di kediaman Didin Putra di Dian Istana, Wiyung, akan langsung ’’disuguhi’’ pemandangan lemari penuh senjata. Ada sebelas unit yang dipajang. Tujuh impor, sisanya lokal. Semuanya dikumpulkan Didin dalam tiga tahun terakhir. Selain itu, masih ada belasan senapan lain yang tidak dipajang. Yang ini, Didin tak mau menyebut jumlah pastinya.



Dia lantas mengambil salah satu senjata itu. Didin –juga penggemar olahraga tembak serta airsoft gun– lebih suka menyebutnya unit. Yang diraih adalah unit cantik berwarna merah hitam. Imut. ’’Ini merek lokal andalan saya,’’ ungkap anggota Surabaya Shooting Club (SSC) tersebut. Unit itu adalah Sharp Tiger kaliber 4,5 milimeter.

Pria kelahiran Lamongan tersebut lantas menunjuk unit senapan angin lainnya. Yakni, HW 100 buatan Jerman. Unit itu terbilang mahal dengan harga Rp 9 juta hingga Rp 12 juta. Tapi, kalau sudah hobi, berapa pun tak jadi soal.

Unit impor lain sejatinya tak kalah ciamik. Ada AirForce Condor, Duk Il Hunting Master, Benjamin Marauder, Benjamin Discovery, Crosman 1077, atau HW 77. Semuanya dikenal sebagai merek yang mengutamakan kualitas, presisi, hingga keindahan bentuk.

Meski begitu, bapak dua anak tersebut lebih sreg dengan merek lokal. Harganya murah. Spare parts-nya gampang diperoleh. Beda dengan Benjamin Marauder, misalnya. Kalau ada masalah, dia bakal sulit mencari suku cadangnya. Pesan dari Jerman, nanti harus berurusan dengan bea cukai. Selain itu, spare part yang berhubungan dengan unit senapan angin harus mengantongi izin dari Mabes Polri. Jalan keluarnya adalah membubut sendiri. ’’Tidak boleh ’dikanibal’ (mencomot dari spare part senapan lain, Red) dengan unit senapan angin lainnya,’’ papar pengurus cabang Persatuan Menembak Sasaran dan Berburu Indonesia (Perbakin) Surabaya tersebut.

Selain itu, harga unit impor yang mahal membuat orang enggan mengubah atau memodifikasi unitnya. Orang cenderung mempertahankan sesuai aslinya. Padahal, penggunaan senapan angin selalu menyesuaikan kebutuhan. Misalnya, pemasangan teropong, penambahan aksesori, bahkan sangat mungkin penggantian laras.

Didin memastikan senapan angin lokal tak kalah dengan unit impor. Memang banyak orang yang enggan pakai barang dalam negeri. Quality control-nya kurang sip, kata mereka. ’’Sehingga, hasilnya kadang tidak sesuai harapan,’’ ujar pria yang juga hobi motor gede itu.

Padahal, kalau pintar memodifikasi, pemilik bisa memperoleh senapan angin lokal dengan kualitas mumpuni. Itu dilakukan Didin. Awalnya, dia melihat kondisi unit yang akan dibeli. Lalu, dia mengubah bagian demi bagian senapan itu sesuai kebutuhan.

Menurut Didin, Sharp Tiger-nya pernah mengantarkannya sebagai juara lomba menembak di Malang. Sejak itu, dia yakin kualitas senapan lokal tidak kalah.

Dia kembali menunjukkan unit senapan angin merek Sharp Inova. Unit tersebut pernah membawanya menjadi juara I pada lomba menembak di kelas bench rest 50 meter. Itu, sekali lagi, bukti bahwa unit senapan angin lokal tidak kalah dengan impor. ’’Semua bergantung perawatan dan modifikasi,’’ ujar suami Kurnia Dwi Trisna tersebut.

Misalnya soal sistem pegas atau per yang ada di senapan lokal. Ketahanannya sama kuat dengan buatan impor. Begitu juga dengan karet klep di setiap unit senapan angin. Antara merek lokal dan impor tidak jauh berbeda. ’’ Semua konstruksi sama. Hanya, merek impor sudah memiliki nama,’’ ungkapnya.

Laras yang dipergunakan di unit senapan angin lokal juga berkualitas nomor wahid. Sebab, banyak laras lokal yang keluaran Pindad Bandung. Harganya murah, mudah didapat, dan kualitas tetap jos.

Menurut Didin, bagus tidaknya unit senapan angin tidak bergantung merek. Tapi, siapa yang mengoperasikan dan bagaimana perawatannya.

Untuk mendapatkan unit senapan angin, baik lokal maupun impor, Didin tak mengalami kesulitan. Sebab, banyak agen penjualan di Indonesia. ’’Yang susah memang spare part,’’ paparnya.

Didin sudah hobi menembak saat SMP. Itu menurun dari orang tuanya yang anggota Perbakin. Tapi, hobi tersebut tak terlampau didalaminya. Didin lebih memilih motor gede. ’’Saya bisa touring ke mana saja,’’ ucapnya.

Tetapi, gaya hidup itu tidak mendapat dukungan dari sang kekasih. Utamanya ketika Didin bersama rekan-rekannya melakukan perjalanan luar kota dengan menggunakan sepeda motor. Kurnia, sang kekasih, hanya diam. ’’Dia khawatir, tapi tidak berani melarang,’’ ucapnya.

Maklum saja, risiko di jalan sangat besar. Selalu saja ada kekhawatiran soal kecelakaan yang berakibat fatal. Itulah yang menjadi dasar dan perenungan Didin sehingga dia berubah haluan.

Setelah menikah, Didin beralih ke menembak. Itu pun tidak muncul begitu saja. Semuanya bermula dari bertemu rekan-rekan lama yang memiliki hobi menembak. Didin melihat dan kembali tertarik dengan kegiatan yang pernah digemarinya sewaktu SMP. Istri pun mendukung. ’’Mulailah saya bergabung dan aktif dengan hobi ini,’’ ungkapnya.

Namun, Didin tidak menyukai aktivitas menembak yang dilakukan sebagian orang di kawasan pesisir. Dia menilai tindakan itu kurang menghargai nyawa makhluk lain yang juga ciptaan Tuhan. Akan lebih baik jika diarahkan pada target. Tujuannya sama, tidak membunuh makhluk Tuhan lainnya.

Kini, Didin terus mencari unit senapan angin lokal, khususnya yang second hand. Ada kepuasan ketika menggunakan barang lokal yang mampu bersaing dengan barang impor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar